Merayakan Gerhana

Tibalah saatnya Jaguar Paw berada di altar pengorbanan Suku Maya. Dia menjadi satu dari sekian orang yang telah dan akan dipenggal kepalanya sebagai sesaji yang diperuntukkan bagi para Dewa. Sang Algojo telah bersiap dengan kapak di tangan. Begitupun dengan Jaguar Paw. Kedua tangannya diregangkan dengan tali tambang. Lehernya menghadap langit, bersiap menerima tebasan. Jelang beberapa detik sebelum mata kapak menghujam urat lehernya, langit tiba-tiba menghitam. Masyarakat Suku Maya yang bersorak menyambut kepala-kepala yang bergulir di anak tangga sontak terdiam. Mereka menatap ke langit kelam. Para penguasa yang berada di dekat Sang Algojo bersujud dengan ketakutan. Ada yang lebih kuat dari matahari yang mereka sembah, mungkin itu yang ada dipikiran mereka. Dan leher Jaguar Paw terselamatkan oleh peristiwa itu.

Anak-anak di Sekolah Alam Minangkabau melaksanakan shalat gerhana, Rabu, 9 Maret 2016.
Anak-anak di Sekolah Alam Minangkabau melaksanakan shalat gerhana, Rabu, 9 Maret 2016.
Seorang orang anak melihat peristiwa gerhana matahari total melalui pinhole buatan yang terbuat dari kardus di Sekolah Alam Minangkabau, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (09 Maret 2016).
Seorang orang anak melihat peristiwa gerhana matahari total melalui pinhole buatan yang terbuat dari kardus di Sekolah Alam Minangkabau, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (09 Maret 2016).

Kemarin, dalam gempita peristiwa Gerhana Matahari Total, saya teringat pada scene dari film Apocalypto di atas. Film keempat yang disutradarai oleh Mel Gibson pada tahun 2006. Fenomena alam yang ditakuti oleh masyarakat Suku Maya dalam film itu sebenarnya pernah terjadi di Republik ini. Tepatnya pada tahun 1983, masa Orde Baru, dengan wujud yang berbeda. Entah apa alasannya pada tahun itu pemerintah Orde Baru menakut-nakuti masyarakat Indonesia dengan mengatakan bahwa gerhana matahari adalah ancaman bagi masyarakat. Ketakutan itu disebarkan secara masif melalui televisi dan radio tanpa ada penjelasan secara ilmiah. Serupa dengan masa ini bukan? Tetapi televisi bukan menebarkan ketakutan hari ini, tapi pembodohan melalui berbagai acara televisi yang hanya mementingkan rating dan iklan semata. Oh, kenapa tulisan saya menjadi seserius ini?  -___-

Seorang orang anak melihat peristiwa gerhana matahari total melalui pinhole buatan yang terbuat dari kardus di Sekolah Alam Minangkabau, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (09 Maret 2016).
Seorang orang anak melihat peristiwa gerhana matahari total melalui pinhole buatan yang terbuat dari kardus di Sekolah Alam Minangkabau, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (09 Maret 2016).
Dua anak perempuan melihat peristiwa gerhana matahari total melalui kaca mata yang telah disediakan di Sekolah Alam Minangkabau, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (09 Maret 2016).
Dua anak perempuan melihat peristiwa gerhana matahari total melalui kaca mata yang telah disediakan di Sekolah Alam Minangkabau, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (09 Maret 2016).

Rabu, 9 Maret 2016, masyarakat Indonesia, juga dunia, tak menyia-nyiakan kesempatan untuk turut menjadi saksi sejarah hadirnya peristiwa gerhana matahari total. Berbagai cara dilakukan untuk dapat menyaksikan fenomena ini secara langsung. Mulai dari memakai kaca mata khusus, menggunakan kamera lubang jarum (pinhole camera) yang terbuat dari barang bekas seperti yang dilakukan oleh anak-anak di Sekolah Alam Minangkabau, cakram flopi (floppy disk), film negatif (sering disebut klise foto), hingga menggunakan kertas film rontgen :D.

Begitulah bentuk perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia terhadap fenomena alam yang langka terjadi itu. Tak ada ketakutan seperti penguasa Suku Maya dalam film Apocalypto di atas. Juga tak ada yang sembunyi di bawah meja saat gerhana matahari terjadi seperti 33 tahun yang lalu.

Seorang warga memperlihatkan kertas film rontgen yang digunakan untuk melihat fenomena gerhana matahari total di Padang, Rabu, 9 Maret 2016.
Seorang warga memperlihatkan kertas film rontgen yang digunakan untuk melihat fenomena gerhana matahari total di Padang, Rabu, 9 Maret 2016.
Gerhana matahari yang terlihat dari kertas film rontgen dari seorang warga di Padang, Rabu, 9 Maret 2016.
Gerhana matahari yang terlihat dari kertas film rontgen dari seorang warga di Padang, Rabu, 9 Maret 2016.

Painan : Kembali Ke Nan Anggun

Benar saja, pada abad ke 16 Pesisir Selatan amat berjaya dengan adanya pelabuhan internasional di sana. Lalu lintas laut pada waktu itu, tak lain tak bukan, disebabkan oleh adanya tambang emas. Salido. Dan sekarang Pulau Cingkuak, dulunya kawasan pelabuhan internasional itu, layaknya daerah “anggun” lainnya menjadi daerah yang tenang untuk bersantai. Tak ubahnya Puncak Langkisau yang menawarkan laut, sungai, perbukitan sebagai jualannya.

Tulisan di atas saya tulis dikali terakhir saya mengunjungi Painan, kota di Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Hingga berbulan-bulan setelahnya, saya datang kembali ke Painan untuk memenuhi hajatan besar yang sedang berlangsung di daerah selatan Sumatera Barat ini.

***

6

Dan sekarang saya menepi dari orang-orang yang bergesa di sana sini menyiapkan segala sesuatu untuk festival yang sebentar lagi dibuka. Di hadapan saya, air ber-riak pelan. Di seberang perahu-perahu nelayan diparkir begitu saja di dekat pulau yang oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Pulau Kereta. Dari bentuknya pulau itu hanya berupa gundukan tanah besar yang ditumbuhi pepohonan, tak seperti kereta yang kita lihat sehari-hari. Konon, di puncak pulau tersebut ada sebuah batu yang sepintas mirip dengan sepeda. Dari situlah nama pulau yang terhubung dengan jembatan kayu dari tempat saya berdiri ini berasal. Kereta, oleh mayoritas masyarakat Sumatera Barat, merupakan sebutan untuk sepeda.

Tak jauh dari Kereta, Pulau Cingkuak menebar ingat pada masa lalu peradaban manusia di Painan ini. Seperti yang diketahui, Painan menyimpan kekayaan di dalam perut bentang alamnya nan indah. Di Salido salah satunya. Vereenigde Oostindische Compagnie, atau yang akrab dikenal dengan VOC, di abad 16 telah memulai eksploitasinya terhadap emas yang terbenam di Salido. Peristiwa selanjutnya, VOC menjadikan Pulau Cingkuak sebagai jalur dagang emas yang mereka ambil di Salido. Benteng pertahanan pun didirikan di sana. Bertahan dari negara lain, maupun dari kerajaan-kerajaan lokal yang sedang terusik. Hingga kini, sisa-sisa peninggalan kejayaan pelabuhan internasional itu masih bisa ditemui di pulau itu.

Dari sinilah saya memandang Kereta dan juga Pulau Cingkuak. Dari Pantai Carocok yang pagi ini lembab dengan mendung yang menggantung. Saya, dan juga beberapa orang kawan, datang kesini untuk melihat Festival Langkisau 2015 yang beberapa saat lagi akan dibuka. “Mas, mau ikut ke Langkisau?” ajakan Pak Cecep menyentak saya. “Mari, Pak” saya menjawab singkat ajakan kawan seperjalanan yang berasal dari Bandung itu.

2()

10

Puncak dengan ketinggian kurang lebih 400 meter dari permukaan laut ini memang menawarkan ketakjuban yang berbeda. Sungai Salido tambak gagah meliuk-liuk membelah Painan. Pantai Salido, Sago, dan Carocok terhampar bak lukisan mooi indie para pelukis tersohor. Belum lagi pulau-pulau kecil yang setiap petang diterpa jingga cahaya senja. Tak ayal puncak ini menjadi satu dari sekian puncak favorit bagi para atlet paralayang.

Sayangnya pagi ini mendung masih memayung Painan. Panorama yang saya temui dikali terakhir saya kesini tak saya jumpai. Keberadaan saya di Puncak Langkisau habis dengan duduk di warung kopi sambil memandang monyet-monyet berlarian di tanah tempat paraglider mempersiapkan penerjunan mereka. Cuaca di Langkisau kadang memang tak terduga. Sebagaimana asal namanya yang diambil dari tempat dimana angin ber-piyuh kesana kemari. Tiga puluh menit sudah saya di sini, dan awan kian lama kian memekat. Dalam perjalanan kembali ke Pantai Carocok, saya teringat satu bait lagu Minang tentang rasa rindu pada kampung halaman. Seperti liriknya, pagi ini Puncak Langkisau kembali memaksa saya untuk memeram kerinduan. “Langkisau, Bukik Langkisau/Tanang aie di Talaok/Tangiang kampung maimbau/Taganang si aie mato.”

8

4()

7

“Mari cari kopi, broYuka, seorang kawan dari Painan, mengajak saya berteduh di salah satu kedai kopi di Carocok di sela-sela suara pidato pejabat daerah. Mungkin karena melihat wajah lelah saya, dia menawari saya sambil menunggu usainya pembukaan Festival Langkisau 2015. Festival yang sedang dibuka ini berlangsung selama sepekan. Selama periode itu ragam acara mewarnai keseharian festival yang telah memasuki tahun ke-13 ini. Selaju Sampan, pertandingan voli tingkat nasional, dan Kejurnas Paralayang adalah beberapa event yang digelar di Painan dari rentang 15 April hingga 21 April 2015 ini. Dan juga Pasar Malam di tepian Carocok.

Dari salah satu tulisan Yuka tentang kota kelahirannya ini saya mengetahui kondisi Pantai Carocok berpuluh tahun yang lalu. Pantai ini dulunya dijadikan tempat untuk mengandangkan sapi. Tak jarang masyarakat setempat menyebut Carocok sebagai kandang jawi, kandang sapi. “Sejak tahun 80-an, pantai ini mulai menjadi destinasi kunjungan orang-orang untuk melihat pemandangan atau sekedar menghabiskan waktu bersama terbenamnya matahari.” tulis lelaki berperawakan gempal ini dalam tulisannya yang dipublikasi tahun lalu dan berjudul Eksotika Pantai Corok Painan.

***

9

5

Bertahun-tahun Painan telah bersolek. Festival Langkisau menjadi pemanis yang menarik orang-orang untuk datang. Sebagaimana prolog di awal, Painan dengan segala pantai, pulau dan Langkisau-nya sedia menyambut orang-orang yang mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk kota.

layaknya daerah ‘anggun’ lainnya menjadi daerah yang tenang untuk bersantai. Tak ubahnya Puncak Langkisau yang menawarkan laut, sungai, perbukitan sebagai jualannya.”

Kita menyebutnya : Pasar Malam

Suasana Pasar Malam

 

Rutinitas pasar sebagaimana pasar yang kita kenal sehari-hari dimulai setelah Subuh. Bahkan beberapa jam sebelumnya. Namun, pasar ini, yang menjual segala bentuk permainan dan tontonan menarik, dimulai setelah matahari tenggelam. Kita biasa menyebutnya dengan Pasar Malam.

Delapan tahun yang lalu adalah perjumpaan terakhir saya dengan hiruk pikuk Pasar Malam. Tepatnya di sebuah lapangan yang biasanya Kami gunakan untuk bermain sepakbola di tanah lahir saya, Kerinci. Setelah itu, saya hanya melintas tanpa pernah berniat singgah ketika suatu waktu saya berpapasan dengan Pasar Malam ini.

Continue reading “Kita menyebutnya : Pasar Malam”

New Year 2012 At Lake of Mount Tujuh

Danau tertinggi di Asia Tenggara tempat perhentian para bidadari. Panorama sempurna untuk menyambut datangnya fajar baru.

1

Berawal dari bincang malam di sebuah warung kopi, Saya bersama empat orang kawan merencanakan untuk menjelajahi keindahan alam di Danau Gunung Tujuh Kerinci (1950 mdpl). Pertengahan Desember adalah waktu yang tepat untuk berangkat menuju Danau tertinggi di Asia Tenggara itu.

Namun, waktu berbicara lain. Jelang tutup tahun 2011 rencana ini terwujudkan. Yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri. 😀

Siluet raksasa Gunung Kerinci menyambut kedatangan Kami disertai dengan hawa dingin yang tak henti untuk pergi ketika jam masih menunjukkan 01.46 wib. Mungkin inilah suhu terdingin yang pernah Saya rasakan. Suasana masih sepi. Hanya suara tawa canda Kami yang terdengar pada dini hari itu. Sesekali suara mobil truk menderu berlalu melewati emperan toko tempat Kami beristirahat sambil menanti fajar menjelang.

Layaknya sebuah impian dari semua pecinta alam yang menginginkan kesempurnaan sebuah maha karya agung, seperti itulah gambaran ketika Kami melihat keindahan Gunung Kerinci yang berdiri megah ketika pagi menyapa Kami. Sayangnya Kami tidak berencana berkunjung kesana. Lain waktu Saya akan bertamu untuk menyapa keindahan Mu. 🙂

2

Perjalanan dari Pelompek menuju Danau Gunung Tujuh menghabiskan waktu kurang lebih empat jam. Rasa haus dan letih tertutupi oleh semangat yang telah menggumpal untuk melihat keindahan panorama Danau Gunung Tujuh. Ya, hanya semangat yang mengantarkan Kami menuju Danau tempat perhentian para bidadari itu.

Benar adanya, Danau Gunung Tujuh adalah tempat terindah yang tak terbayangkan sebelumnya.:)

Beberapa tenda telah didirikan oleh para pendaki yang datang lebih dahulu. Mereka beraktifitas di tepian danau untuk menghilangkan hawa dingin yang datang dari percikan air terjun yang berhadapan langsung dengan Gunung Kerinci.

Diakhir nanti akan Saya tampilkan foto Gunung Kerinci yang diambil dari atas air terjun Danau Gunung Tujuh. 😀

3

4

5

6

7

Yang ditunggu-tunggu pun datang. Suara riuh para pendaki saling bersahutan dengan deru suara meriam bambu pada malam pergantian tahun 2011 – 2012. Jam 00.00 wib para pendaki di sekitar tepian Danau Gunung Tujuh berlomba-lomba menghidupkan kembang api untuk merayakan hari baru di 2012 ini. Tak ada tempat yang sempurna di belahan dunia manapun untuk merayakan pergantian tahun ini selain di danau tertinggi se-Asia Tenggara, Danau Gunung Tujuh.

8

9

10

11

12

Dan Resolusi di awal tahun pun beterbangan ke angkasa menanti untuk terwujudkan dengan Danau Gunung Tujuh sebagai saksi sejarahnya.

Terakhir, inilah Gunung Kerinci yang dilihat dari atas air terjun di Danau Gunung Tujuh. 🙂

13

Happy New Year 2012

Dedication to : Muhammad Fadli, Fatris M Fais, Julihendra Aciak, Rio Rahmadhani (kawan-kawan yang menghangatkan Danau Gunung Tujuh) :D, Mario Dirgantara (yang telah menyediakan telur rebus nikmat), terakhir kawan-kawan KOMPAK yang telah menyambut dengan hangat. 🙂