Benar saja, pada abad ke 16 Pesisir Selatan amat berjaya dengan adanya pelabuhan internasional di sana. Lalu lintas laut pada waktu itu, tak lain tak bukan, disebabkan oleh adanya tambang emas. Salido. Dan sekarang Pulau Cingkuak, dulunya kawasan pelabuhan internasional itu, layaknya daerah “anggun” lainnya menjadi daerah yang tenang untuk bersantai. Tak ubahnya Puncak Langkisau yang menawarkan laut, sungai, perbukitan sebagai jualannya.
Tulisan di atas saya tulis dikali terakhir saya mengunjungi Painan, kota di Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Hingga berbulan-bulan setelahnya, saya datang kembali ke Painan untuk memenuhi hajatan besar yang sedang berlangsung di daerah selatan Sumatera Barat ini.
***
Dan sekarang saya menepi dari orang-orang yang bergesa di sana sini menyiapkan segala sesuatu untuk festival yang sebentar lagi dibuka. Di hadapan saya, air ber-riak pelan. Di seberang perahu-perahu nelayan diparkir begitu saja di dekat pulau yang oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Pulau Kereta. Dari bentuknya pulau itu hanya berupa gundukan tanah besar yang ditumbuhi pepohonan, tak seperti kereta yang kita lihat sehari-hari. Konon, di puncak pulau tersebut ada sebuah batu yang sepintas mirip dengan sepeda. Dari situlah nama pulau yang terhubung dengan jembatan kayu dari tempat saya berdiri ini berasal. Kereta, oleh mayoritas masyarakat Sumatera Barat, merupakan sebutan untuk sepeda.
Tak jauh dari Kereta, Pulau Cingkuak menebar ingat pada masa lalu peradaban manusia di Painan ini. Seperti yang diketahui, Painan menyimpan kekayaan di dalam perut bentang alamnya nan indah. Di Salido salah satunya. Vereenigde Oostindische Compagnie, atau yang akrab dikenal dengan VOC, di abad 16 telah memulai eksploitasinya terhadap emas yang terbenam di Salido. Peristiwa selanjutnya, VOC menjadikan Pulau Cingkuak sebagai jalur dagang emas yang mereka ambil di Salido. Benteng pertahanan pun didirikan di sana. Bertahan dari negara lain, maupun dari kerajaan-kerajaan lokal yang sedang terusik. Hingga kini, sisa-sisa peninggalan kejayaan pelabuhan internasional itu masih bisa ditemui di pulau itu.
Dari sinilah saya memandang Kereta dan juga Pulau Cingkuak. Dari Pantai Carocok yang pagi ini lembab dengan mendung yang menggantung. Saya, dan juga beberapa orang kawan, datang kesini untuk melihat Festival Langkisau 2015 yang beberapa saat lagi akan dibuka. “Mas, mau ikut ke Langkisau?” ajakan Pak Cecep menyentak saya. “Mari, Pak” saya menjawab singkat ajakan kawan seperjalanan yang berasal dari Bandung itu.
Puncak dengan ketinggian kurang lebih 400 meter dari permukaan laut ini memang menawarkan ketakjuban yang berbeda. Sungai Salido tambak gagah meliuk-liuk membelah Painan. Pantai Salido, Sago, dan Carocok terhampar bak lukisan mooi indie para pelukis tersohor. Belum lagi pulau-pulau kecil yang setiap petang diterpa jingga cahaya senja. Tak ayal puncak ini menjadi satu dari sekian puncak favorit bagi para atlet paralayang.
Sayangnya pagi ini mendung masih memayung Painan. Panorama yang saya temui dikali terakhir saya kesini tak saya jumpai. Keberadaan saya di Puncak Langkisau habis dengan duduk di warung kopi sambil memandang monyet-monyet berlarian di tanah tempat paraglider mempersiapkan penerjunan mereka. Cuaca di Langkisau kadang memang tak terduga. Sebagaimana asal namanya yang diambil dari tempat dimana angin ber-piyuh kesana kemari. Tiga puluh menit sudah saya di sini, dan awan kian lama kian memekat. Dalam perjalanan kembali ke Pantai Carocok, saya teringat satu bait lagu Minang tentang rasa rindu pada kampung halaman. Seperti liriknya, pagi ini Puncak Langkisau kembali memaksa saya untuk memeram kerinduan. “Langkisau, Bukik Langkisau/Tanang aie di Talaok/Tangiang kampung maimbau/Taganang si aie mato.”
“Mari cari kopi, bro” Yuka, seorang kawan dari Painan, mengajak saya berteduh di salah satu kedai kopi di Carocok di sela-sela suara pidato pejabat daerah. Mungkin karena melihat wajah lelah saya, dia menawari saya sambil menunggu usainya pembukaan Festival Langkisau 2015. Festival yang sedang dibuka ini berlangsung selama sepekan. Selama periode itu ragam acara mewarnai keseharian festival yang telah memasuki tahun ke-13 ini. Selaju Sampan, pertandingan voli tingkat nasional, dan Kejurnas Paralayang adalah beberapa event yang digelar di Painan dari rentang 15 April hingga 21 April 2015 ini. Dan juga Pasar Malam di tepian Carocok.
Dari salah satu tulisan Yuka tentang kota kelahirannya ini saya mengetahui kondisi Pantai Carocok berpuluh tahun yang lalu. Pantai ini dulunya dijadikan tempat untuk mengandangkan sapi. Tak jarang masyarakat setempat menyebut Carocok sebagai kandang jawi, kandang sapi. “Sejak tahun 80-an, pantai ini mulai menjadi destinasi kunjungan orang-orang untuk melihat pemandangan atau sekedar menghabiskan waktu bersama terbenamnya matahari.” tulis lelaki berperawakan gempal ini dalam tulisannya yang dipublikasi tahun lalu dan berjudul Eksotika Pantai Corok Painan.
***
Bertahun-tahun Painan telah bersolek. Festival Langkisau menjadi pemanis yang menarik orang-orang untuk datang. Sebagaimana prolog di awal, Painan dengan segala pantai, pulau dan Langkisau-nya sedia menyambut orang-orang yang mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk kota.
“layaknya daerah ‘anggun’ lainnya menjadi daerah yang tenang untuk bersantai. Tak ubahnya Puncak Langkisau yang menawarkan laut, sungai, perbukitan sebagai jualannya.”